Kopi Pipikoro Sigi: Perjalanan dari Cemoohan Menuju Kebanggaan


www.penerbitmagama.com

Sebuah desa kecil di dataran tinggi Gempu, Kecamatan Pipikoro, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Di balik hijaunya pepohonan dan udara segar yang menyegarkan, tersembunyi sebuah keunikan yang jarang diketahui orang: Kopi Pipikoro Sigi, sebuah kopi organik jenis Robusta yang memiliki cerita panjang dan rasa yang memikat hati.

Awalnya, kopi ini pernah menjadi bahan cemoohan. Banyak yang meremehkan kualitasnya karena penampilannya yang sederhana dan metode budidaya tradisionalnya. Tapi siapa sangka, di balik anggapan itu, tersembunyi potensi besar yang kemudian berkembang menjadi salah satu komoditas unggulan di wilayah tersebut.

Kopi Pipikoro dikenal dengan sebutan "Toratima"—sebuah istilah yang berarti "lepehan hewan liar" dalam bahasa lokal. Nama ini merujuk pada cara pengambilan biji kopinya yang unik: petani memetik biji kopi pilihan yang dilepeh, atau dilepaskan, oleh kelelawar, tupai, maupun tangali (sejenis burung pemakan biji). Mereka tidak memanen secara sembarangan, melainkan dengan penuh kehati-hatian, memastikan biji yang diambil benar-benar matang dan berkualitas.

Keunikan lain dari Kopi Pipikoro terletak pada aroma dan rasa yang khas. Biji kopi ini biasanya ditumbuk (bukan digiling halus seperti kopi komersial) sehingga menghasilkan aroma yang lebih kuat dan alami. Saat disangrai bersama jahe merah atau jahe biasa, tercipta sebuah harmoni rasa yang hangat dan memberi sensasi berbeda di lidah. Aromanya mengingatkan pada kayu bakar yang sedang menyala, dengan sentuhan rempah-rempah kayumanis yang membuat siapa saja tergoda untuk meneguknya.

Cita rasa kopi ini juga tidak kalah menarik. Rasanya kuat dan sedikit asin, memberi sensasi gurih yang mendalam. Banyak penikmat kopi merasa lega setelah menyeruputnya, karena tidak membuat kembung atau pusing seperti kopi dengan rasa yang terlalu kuat dari bahan kimia. Legenda rasa ini berkembang dari proses penanaman dan pengolahan secara organik di dataran tinggi yang sejuk dan alami.

Budidaya kopi ini dilakukan secara organik, tanpa pestisida maupun pupuk kimia. Petani di Pipikoro menerapkan konsep agroforestry—menanam kopi di sela-sela pohon hutan tanpa mengganggu ekosistem alami. Pendekatan ini tidak hanya menjaga kelestarian lingkungan tetapi juga meningkatkan kualitas tanah dan rasa kopi itu sendiri. Mereka percaya bahwa menanam kopi secara alami dan berkelanjutan akan menghasilkan biji kopi yang lebih sehat dan memiliki cita rasa yang autentik.

Sejarah Kopi Pipikoro sudah ada sejak era Belanda di tahun 1820-an. Pada masa lalu, tanaman ini sempat beralih fungsi menjadi perkebunan kakao, tetapi kemudian kembali ke tanaman kopi Robusta dengan dukungan berbagai LSM yang mengedepankan keberlanjutan dan pelestarian adat.

Kini, perjalanan kopi ini semakin berkembang. Pemerintah Kabupaten Sigi memberikan dukungan melalui bantuan benih berkualitas dan promosi dalam berbagai festival kopi. Dengan begitu, citra kopi ini mulai dikenal luas dan mendapatkan tempat di hati penikmat kopi baik lokal maupun nasional.

Kopi Pipikoro Sigi bukan sekadar minuman, melainkan sebuah kisah perjuangan, keberlanjutan, dan kekayaan budaya dari sebuah desa kecil yang bangga akan warisan dan potensi alamnya. Dengan cita rasa khas, aroma yang menggoda, dan proses yang alami, kopi ini membuktikan bahwa keunikan dan kualitas tidak selalu bergantung pada harga mahal, melainkan pada ketulusan dan keberlanjutan yang diusung dari tanah dataran tinggi Sulawesi Tengah.

Litbang Penerbit Magama, diolah dari berbagai sumber.
Foto: Karsa Istitute

Posting Komentar

0 Komentar