DARI KAPURUNG HINGGA ONYOP, SAGU MENGIKAT SELERA MASYARAKAT SULAWESI
www.penerbitmagama.com
Olahan sagu umumnya dikenal dengan nama Papeda. Di bagian Utara sekaligus bagian timur Indonesia, menggunakan nama ini untuk olahan sagu. Di Sulawesi Selatan, tepatnya di Luwu, Luwu Timur, Palopo dan sekitarnya, dinamakan Kapurung. Bubur sagu yang kenyal ini disiram kuah ikan atau ayam yang asam pedas, dipadukan dengan sayuran seperti jagung dan terong. Olahan ini hampir mirip di beberapa daerah, bedanya sebagian menggunakan kuah ikan, dan sebagiannya menggunakan kuah sayur, begitu pula cara penyajiannya, ada yang langsung dicampur dan dimasak bersamaan, ada pula yang dicampur setelah dihidangkan sesuai selera masing-masing. Rasanya yang segar dan kuah yang pedas menggambarkan semangat kehidupan masyarakat yang ceria dan bersahaja. Tidak jauh berbeda, di daerah Sulawesi Tengah, di wilayah Poso dan dan sekitarnya disebut dui, di Lembah Palu, Donggala dan sekitarnya masyarakat Kaili olahan sagu khas disebut Jepa atau Tabaro Dange sama dengan sebagian penamaan olahan disebut kapurung pula. Di bagian Utara disebut Sinole, olahan sagu dan parutan kelapa disangrai dan dibentuk olahan dengan tekstur yang cenderunga kering. Di Sulawesi Selatan Olahan sagu namun memiliki tekstur kenyal yang khas dan sering disajikan dalam berbagai acara adat, mempererat tali silaturahmi dan menjaga tradisi leluhur. Di Banggai dinamakan onyop, sementara di bagian tenggara Sulawesi masyarakat menamakannya Sinonggi. Makanan pokok ini berupa adonan sagu encer yang disiram dengan kuah ikan seperti Palumara atau sayur tawaoloho. Sinonggi tidak hanya sekadar makanan, tetapi juga simbol kebersamaan dan kekayaan budaya Tolaki yang diwariskan turun-temurun. Di berbagai acara adat dan perayaan, menyantap Sinonggi menjadi momen sakral yang memperkuat ikatan sosial.
Dari Sulawesi Selatan, ada olahan sagu lainnya dari tepung sagu dipanggang hingga matang dan biasanya disantap dengan kuah ikan, kopi, atau teh. Teksturnya yang renyah di luar dan kenyal di dalam menghadirkan sensasi berbeda saat menikmati hidangan ini. Di Kabupaten Poso dan sekitarnya di Sulawesi Tengah bagian timur, olahan sagu encer dikenal dengan Dui, adonan sagu yang dibentuk bulat atau digulung menggunakan sumpit, kemudian disajikan bersama kuah ikan seperti game, sementara olahan tepung sagu lainnya berbentuk kue gulung maupun kue bakar yang menampilkan kreativitas masyarakat dalam mengolah sagu menjadi berbagai bentuk menarik.
Nilai Budaya dan Sosial dari Budaya Makan Sagu
Lebih dari sekadar makanan, sagu memegang peranan penting dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Sulawesi. Proses mengolah dan menyantap sagu biasanya dilakukan secara bersama-sama, baik dalam keluarga maupun dalam acara adat. Tradisi ini mempererat ikatan kekeluargaan dan memperkuat rasa kebersamaan. Makan bersama sagu sering menjadi momen spesial yang memperkuat hubungan sosial dan memperkokoh identitas budaya.
Selain itu, sagu juga memiliki nilai ekonomi dan ketahanan pangan yang penting. Sebagai sumber karbohidrat utama, sagu menjadi cadangan pangan yang sangat berharga, terutama di masa-masa sulit. Bagi etnis Tolaki, sagu bukan hanya makanan pokok, melainkan simbol kekayaan dan keberkahan. Pengolahan sagu yang sederhana dan efisien menjadikannya bahan utama dalam menjaga ketahanan pangan lokal.
Dalam konteks pelestarian budaya, tradisi makan sagu terus diperkenalkan melalui festival kuliner dan promosi wisata, sehingga generasi muda tetap menghargai dan melestarikan warisan kuliner ini. Melalui upaya tersebut, kekayaan rasa dan budaya ini terus hidup dan berkembang, memperkaya khasanah kuliner Indonesia secara umum.
Proses Pengolahan Sagu yang Sederhana namun Bermakna
Proses pembuatan sagu di Sulawesi relatif sederhana namun penuh makna. Pertama, pati sagu direndam semalaman untuk mempermudah proses pengendapan. Setelah itu, airnya dibuang dan pati yang tersisa dikeringkan serta diayak hingga halus. Selanjutnya, sagu yang sudah halus dicampur dengan air dan disiramkan ke dalam air mendidih sambil diaduk hingga membentuk adonan kenyal dan elastis seperti lem. Adonan ini kemudian disajikan segera dengan berbagai kuah sayur, ikan, atau lauk lainnya sesuai selera.
Budaya makan sagu di Sulawesi bukan sekadar soal memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga menjadi cerminan dari kekayaan budaya, rasa kebersamaan, dan simbol identitas masyarakat setempat. Variasi olahan sagu yang khas dari setiap daerah menunjukkan betapa kayanya tradisi dan kreativitas masyarakat Sulawesi dalam memanfaatkan sumber daya alam mereka. Melalui pelestarian dan pengembangan warisan kuliner ini, budaya makan sagu tetap hidup dan menjadi bagian penting dari keberagaman budaya Indonesia yang harus terus dirayakan dan dilestarikan.
Litbang Penerbit Magama, diolah dari berbagai sumber.
Foto: Tradisi Kuliner



Posting Komentar
0 Komentar