MEMAHAMI PENAMAAN MAKASSAR, GOWA DAN TALLO


www.penerbitmagama.com

Sejarah Indonesia, khususnya Sulawesi Selatan, dipenuhi dengan dinamika dan metamorfosis politik, budaya, serta ekonomi yang mencerminkan identitas lokal yang kompleks. Salah satu contoh penting adalah hubungan dan evolusi antara Kerajaan Gowa, Tallo, dan penamaan Makassar. Ketiga konsep ini tidak sekadar nama geografis atau politik, melainkan mencerminkan proses perubahan identitas, orientasi ekonomi, dan interaksi sosial yang berlangsung selama berabad-abad.

Dalam artikel ini, penulis berusaha menyajikan secara sederhana keterkaitan antara nama Gowa, Tallo, dan Makassar. Penulis merasa perlu menulis karena adanya beberapa kesalahpahaman, terutama di kalangan umum yang mungkin tidak secara langsung berinteraksi dengan komunitas etnik ini.

Gowa dan Tallo: Kerajaan Kembar yang Bersatu

Gowa dan Tallo adalah nama kerajaan di Sulawesi Selatan yang awalnya hanya dikenal sebagai Kerajaan Gowa. Setelah Raja Gowa Tunatangka Lopi mangkat, terjadi perselisihan antara kedua putra raja, yaitu Batara Gowa dan Karaeng Loe Ri Sero, yang menyebabkan terbentuknya dualisme pemerintahan.

Kemudian, Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi dua kerajaan terpisah. Kerajaan Gowa dipimpin oleh Batara Gowa di Tamalate, sementara Kerajaan Tallo diperintah oleh Karaeng Loe Ri Sero di wilayah muara Sungai Tallo (sekarang bagian dari Kota Makassar). Namun, seiring waktu, kedua kerajaan kembali berdamai dan bersekutu membentuk kerajaan kembar Gowa-Tallo dengan ikrar kesepakatan yang terkenal, "Rua Karaeng se’re ata" (dua raja satu rakyat). Inilah awal dari dikenalinya Kerajaan Gowa-Tallo sebagai kerajaan kembar.

Lalu di Manakah Letak Kerajaan/Kesultanan Makassar?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penting meninjau kembali sejarahnya. Penamaan "Makassar" menjadi populer setelah orientasi pemerintahan Gowa-Tallo beralih dari kerajaan agraris ke kerajaan maritim. Perubahan ini terjadi saat pemerintahan Raja Gowa-Tallo I Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisi’ Kallonna, yang memindahkan pusat pemerintahan dari Tamalate ke Benteng Somba Opu (sekarang di Kecamatan Barombong) pada tahun 1525 masehi.

Interaksi Kerajaan Gowa dengan dunia luar meningkat secara signifikan sebagai dampak tidak langsung dari keruntuhan Kerajaan Malaka oleh serangan Portugis pada awal abad ke-16. Pada masa ini, Gowa-Tallo berfungsi sebagai pusat pengelolaan pelabuhan, benteng pertahanan, dan jalur distribusi barang dari berbagai wilayah di Asia Tenggara hingga ke Afrika dan Timur Tengah.

Transformasi identitas ini bukan sekadar penyatuan politik, melainkan juga perubahan paradigma dari basis agraris menjadi kekuatan maritim dan perdagangan internasional. Konflik internal dan tekanan eksternal dari kekuatan asing, seperti VoC dan kerajaan Eropa lainnya, mendorong kedua kerajaan mengadopsi strategi ekonomi berbasis pelayaran dan perdagangan laut yang luas. Pada saat yang sama, Islam mulai masuk secara resmi dan menjadi agama kerajaan, sehingga Gowa-Tallo mengalami restrukturisasi menjadi kesultanan Islam.

Seiring waktu, terutama pada abad ke-17, muncul identitas baru yang dikenal sebagai Makassar. Nama ini berasal dari kata "Mangkasara," yang berarti "tidak bersembunyi" atau "berbicara apa adanya" dalam bahasa setempat. Nama ini mencerminkan karakter masyarakat yang terbuka, inklusif, dan mengutamakan komunikasi jujur dalam hubungan sosial dan perdagangan.

Secara historis, perubahan dari Kerajaan Gowa-Tallo menjadi Makassar tidak hanya simbolis, tetapi juga strategis. Setelah melalui berbagai konflik internal dan tekanan kolonial, kedua kerajaan menyusun kembali identitas mereka untuk menegaskan posisi sebagai pusat perdagangan maritim yang terbuka dan kompetitif di wilayah tersebut. Penempatan benteng-benteng penting seperti Benteng Ujung Pandang dan Benteng Somba Opu di Barombong menunjukkan adaptasi terhadap kebutuhan pengelolaan lalu lintas kapal dan barang secara global. Makassar kemudian dikenal sebagai pelabuhan internasional yang mampu menarik pedagang dari berbagai bangsa dan budaya, termasuk Arab, India, Cina, dan Eropa.

Makassar dalam Konteks Tempat dan Nama Suku

Masih banyak yang menganggap bahwa nama Makassar hanya sebatas nama wilayah. Tentu tidak salah, tetapi belum lengkap. Selain sebagai nama wilayah yang saat itu dikenal sebagai Kesultanan Makassar (sebagai pengganti atau nama lain dari Kerajaan Gowa-Tallo), Makassar juga merujuk pada etnik tertentu yang mendiami wilayah tersebut, yaitu etnik Makassar.

Penggunaan istilah "Bugis-Makassar," "Cina Makassar," atau "Melayu Makassar" sering kali disalahpahami bahwa Makassar hanyalah nama wilayah semata. Faktanya, selain sebagai nama wilayah, Makassar juga merupakan nama etnik yang memiliki kekhasan tersendiri, terutama dari sisi bahasa dan budaya komunikasi yang digunakan. Sebagian mendalilkan penggunaan gabungan nama tersebut sebagai konsekuensi hubungan kekerabatan. 

Dari sudut psikologi sosial, penamaan "Makassar" menjadi simbol keterbukaan dan inklusivitas. Masyarakat Makassar mengembangkan budaya komunikasi yang jujur dan terbuka, terbukti sejak masa Kesultanan Makassar yang menerapkan prinsip hukum laut bebas (mare liberum) dan penentangan Sultan Hasanuddin terhadap praktik monopoli VoC. Toleransi dan keberagaman menjadi nilai utama yang mendasari interaksi sosial dan ekonomi mereka. Hal ini menjadikan Makassar pusat pertemuan berbagai bangsa dan budaya, sekaligus memperkuat posisinya sebagai kota dagang yang maju dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara.

Naskah: Chaerudin A. Ewa diolah dari berbagai sumber (Pegiat Literasi dan Perbukuan)

Posting Komentar

0 Komentar